Pekanbaru – Gabungan insan pers yang menyebut dirinya “Aliansi Wartawan Bersatu” mengadakan pertemuan di Kedai Kopi ONJ 99, Jalan Delima, Kelurahan Delima, Kecamatan Bina Widya, Kota Pekanbaru, Sabtu (03/08/2024) sekira pukul 16.00 WIB.
Pertemuan ini diadakan untuk menyampaikan kecaman terhadap penangkapan beberapa wartawan yang dituding melakukan pemerasan dan disebut sebagai “wartawan gadungan” karena tidak terdaftar di Dewan Pers. Tuduhan ini bermula dari terbitan di salah satu media online yang mencatat bahwa wartawan yang ditangkap tidak memiliki registrasi resmi di Dewan Pers.
Sementara, dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada Kamis, 4 April 2024, Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, Dr. Ninik, menegaskan bahwa pendaftaran di Dewan Pers bukanlah syarat mutlak untuk mendirikan perusahaan pers atau menjalankan tugas jurnalistik.
“Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk Dewan Pers,” jelas Dr. Ninik.
Ia menambahkan bahwa selama perusahaan pers memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia seperti PT dan menjalankan fungsi jurnalistik secara profesional dan teratur, perusahaan tersebut sah sebagai perusahaan pers meskipun belum terdaftar di Dewan Pers.
Namun, penangkapan wartawan oleh Kepolisian Resor Kota (Polresta) Pekanbaru menimbulkan polemik.
Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru, Kompol Berry Juana Putra, mengklaim bahwa penangkapan dilakukan karena wartawan yang ditangkap tidak terdaftar di Dewan Pers. Tindakan ini menuai kritik dari Aliansi Wartawan Bersatu, yang terdiri dari sekitar ratusan redaksi media di Pekanbaru.
Aliansi Wartawan Bersatu menilai bahwa tindakan yang diambil oleh Kapolresta Pekanbaru melalui Kepala Satuan Reskrim dianggap tidak sesuai prosedur dan bersifat tebang pilih.
Mereka mengkritik bahwa pelapor dalam kasus ini juga terlibat aktif dalam memberikan sesuatu kepada wartawan yang dituduh, sehingga dinilai tidak objektif.
“Pelapor juga wajib ditahan jika supremasi hukum dijadikan patokan,” tegas perwakilan Aliansi Wartawan Bersatu.
Dalam pertemuan tersebut, Aliansi Wartawan Bersatu mengajak seluruh wartawan untuk memantau kinerja Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru dan mencegah adanya ketidakadilan atau kongkalikong antara aparat penegak hukum dan pelaku kejahatan.
Mereka juga mempertanyakan mengapa laporan-laporan mengenai penimbunan bahan bakar minyak (BBM) ilegal dan aktivitas ilegal lainnya sering kali tidak mendapatkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum.
“Aliansi Wartawan Bersatu berharap agar hukum dijalankan dengan seadil-adilnya sesuai dengan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” ujar perwakilan aliansi dalam pertemuan tersebut.
Selain itu, mereka menyoroti bahwa jika pelaku yang terlibat adalah oknum TNI, maka tindakan tersebut melanggar Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Pasal 39 ayat 3 UU tersebut, TNI tidak boleh terlibat dalam bisnis atau politik.
“Anggota TNI tidak boleh beraktivitas berbisnis, apalagi melakukan pengawalan terhadap dugaan aktivitas ilegal,” tegas Umar.
Selain itu, mereka juga mengacu pada Pasal 38 ayat 1 UU TNI, yang melarang anggota TNI untuk terlibat dalam aktivitas bisnis. Perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan melindungi kejahatan.
“Jika ada aktivitas ilegal yang melibatkan anggota TNI, hal ini bisa mengakibatkan kerugian negara dan merusak sistem pertahanan nasional,” tegasnya.
“Keterlibatan dalam aktivitas ilegal tanpa membayar pajak juga berdampak negatif pada perekonomian negara,” tambah Umar.
Pertemuan di Kedai Kopi ONJ 99 merupakan bagian dari upaya Aliansi Wartawan Bersatu untuk menegaskan komitmen mereka dalam memperjuangkan keadilan dan transparansi.
Mereka berharap agar dengan adanya pengawasan ketat dan dukungan publik, sistem hukum di Pekanbaru akan lebih adil dan tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu.
(UG)