PT. BERITA ISTANA NEGARA

Warga Kecewa! Mediasi Ganti Rugi Lapangan Terbang Gusti Sjamsir Alam Kotabaru Tak Temui Titik Terang dan Tidak Transparan

Berita Istana - Selasa, 11 Februari 2025 10:35

Kotabaru, Kalimantan Selatan – Proses pembebasan lahan untuk pengembangan Lapangan Terbang Gusti Syamsir Alam di Desa Stagen, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, kembali menuai polemik. Sejak tahun 2023, anggaran ganti rugi yang telah dialokasikan berturut-turut sebesar Rp50 miliar, Rp88 miliar (2024), dan Rp131 miliar (2025) selalu gagal terealisasi karena tahapan yang tidak terselesaikan. Hingga kini, masyarakat yang terdampak merasa dirugikan dan mengaku mendapat intimidasi dari pihak panitia.

Pada September 2024, pengumuman Peta Bidang diterbitkan dan dibuka untuk peninjauan selama 14 hari. Namun, warga mengeluhkan bahwa nilai yang ditawarkan jauh di bawah harga yang tertera dalam sertifikat atau segel tanah mereka. Masyarakat yang mengajukan sanggahan mengaku tidak mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai hasil revisi atau perbaikan nilai tanah yang telah mereka ajukan.

Selain itu, penilaian oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang ditunjuk tanpa proses lelang juga dipertanyakan. KJPP hanya diberikan masa kerja dari 2 Desember hingga 28 Desember 2024. Namun, pada saat turun ke lapangan pada 5 Desember 2024, mereka hanya menyerahkan formulir kosong untuk ditandatangani warga tanpa mencantumkan nilai yang telah dihitung berdasarkan kondisi real di lapangan. Bahkan, warga yang terdampak tidak ditemui langsung oleh KJPP, menyebabkan faktor nilai ekonomi tanah, termasuk potensi perikanan seperti budidaya kepiting, ikan kakap, udang tiger, dan ikan bandeng, tidak diperhitungkan.

“KJPP seharusnya bertemu langsung dengan pemilik tanah, bukan hanya berdasarkan informasi dari pihak tertentu. Ini jelas tidak profesional,” ujar salah satu warga yang terdampak.

Dinas Perikanan dan Pertanian juga tidak dilibatkan dalam proses penilaian, meskipun banyak tanah yang terdampak berfungsi sebagai lahan produktif.

Pada 8 Januari 2025, di Gedung Politeknik Kotabaru, panitia pelaksana menggelar musyawarah penetapan bentuk ganti rugi. Namun, warga yang hadir hanya diberikan dua pilihan: menerima atau menolak. Bagi yang menolak, langsung diarahkan untuk menyelesaikan masalah di pengadilan tanpa ada proses negosiasi atau mediasi lebih lanjut.

Baca Juga :  Menjelang Pilkada Serentak, Logistik Pemilu di Gilirejo Baru Sragen Dikawal Ketat

Beberapa warga yang menghadiri musyawarah mengaku mendapatkan intimidasi dari panitia. “Kami merasa ditekan dan tidak diberikan ruang untuk bernegosiasi. Seakan-akan kalau menolak, harus siap berurusan dengan pengadilan,” keluh seorang warga.

Pada 13 Januari 2025, warga yang menolak datang ke Kantor Dinas Perumahan Rakyat, Pemukiman, dan Pertanahan (Perkimtan) Kotabaru untuk meminta kejelasan. Namun, mereka hanya menerima jawaban bahwa pihak Perkimtan akan menyampaikan keluhan kepada ATR/BPN dan KJPP tanpa ada tindak lanjut yang jelas.

Ketika ditanya mengenai transparansi perhitungan nilai ganti rugi, pihak Perkimtan menyatakan tidak memiliki data perhitungan dari ATR/BPN dan KJPP. Bahkan, dalam musyawarah sebelumnya, tidak ada sesi tanya jawab atau negosiasi antara warga dengan pihak-pihak terkait.

Setelah diarahkan untuk membawa kasus ini ke pengadilan, warga yang menolak harga datang ke Pengadilan Negeri Kotabaru pada 6 Februari 2025. Namun, pengadilan menolak perkara ini dengan alasan belum masuk dalam ranah hukum mereka.

Merasa dipermainkan, warga kembali mendatangi Kantor ATR/BPN Kotabaru. Salah satu anggota panitia menyatakan bahwa musyawarah sebelumnya dianggap telah selesai dan satu-satunya jalan adalah membawa kasus ini ke pengadilan. Bahkan, pada 7 Februari 2025, panitia kembali menggelar pertemuan di Kantor Desa Stagen dengan menghadirkan ATR/BPN, Perkimtan, KJPP, dan Kejaksaan Negeri Kotabaru. Namun, alih-alih memberikan solusi, mereka kembali mengarahkan warga ke pengadilan dengan biaya yang harus ditanggung sendiri oleh warga.

Menanggapi polemik ini, kuasa hukum PT Berita Istana Negara, Dedy Afriandi Nusbar, menegaskan bahwa masyarakat seharusnya bisa mengajukan keberatan secara resmi melalui surat dan meminta audensi dengan DPR.

“Sekarang tidak ada istilah ganti rugi, yang ada adalah ganti untung. Jika masyarakat merasa tidak mendapatkan hak yang adil, seharusnya mereka mengajukan audiensi dengan DPR agar ada kejelasan dan solusi konkret,” ujar Dedy.

Baca Juga :  Proses Reklamasi Harus Mengantongi Izin Resmi, BPN Semarang Tegaskan Pencegahan Mafia Tanah

Ia juga menyoroti dampak sosial-ekonomi dari proyek ini. “Banyak warga yang mata pencahariannya bergantung pada tanah yang terdampak. Jika proyek ini dilanjutkan tanpa solusi yang adil, mereka akan kehilangan sumber penghidupan.”

Hingga saat ini, warga masih menunggu langkah konkret dari pemerintah. Mereka berharap ada transparansi dalam proses pengadaan tanah dan negosiasi harga yang adil sebelum proyek pengembangan Lapangan Terbang Gusti Syamsir Alam dilanjutkan.(iTO)

Array

Berita Terkait

Komentar