Tulungagung – Sengketa perdata lingkungan hidup yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung kembali bergulir dan memasuki babak kedua dalam perkara Nomor: 86/Pdt.G/2025/PN Tlg. Gugatan ini diajukan komunitas penggiat lingkungan Lush Green Indonesia (LGI) selaku penggugat, melawan sejumlah pihak tergugat, yakni Suryono Hadi Pranoto alias Kacunk (owner K-Cunk Motor), manajemen UD K-Cunk Motor, Kepala Desa Nglampir, serta Kepala Desa Keboireng.
Pokok perkara menyangkut dugaan aktivitas pertambangan mineral dan batubara (minerba) di wilayah setempat, serta pemanfaatan hasil tambang untuk pengurukan tanah perluasan showroom mobil milik K-Cunk Motor. Aktivitas tersebut diduga menyalahi tata kelola pemanfaatan sumber daya alam dan menimbulkan kerugian lingkungan.
sengketa lahan tambang ilegal bisa berimplikasi pidana karena pelaku pertambangan tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang diubah dalam UU Cipta Kerja, dengan ancaman pidana penjara hingga lima tahun dan/atau denda besar. Pelaporan ke pihak kepolisian oleh pihak yang dirugikan juga bisa menjadi langkah hukum untuk memulai proses pidana dalam kasus ini.
Pada persidangan kali ini, Hariyanto selaku penggugat berhalangan hadir karena sakit, dan memberi kuasa penuh kepada tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Yustitia Indonesia.
Sementara itu, Kacunk hadir bersama kedua istrinya, tim pengacara, serta sejumlah simpatisan. Kehadiran mereka menjadi sorotan publik, namun usai sidang Kacunk enggan memberi keterangan kepada awak media.
Anggota tim advokasi LGI, Helmi Rizal, menjelaskan bahwa majelis hakim memutuskan perkara ini masuk tahap mediasi selama 30 hari ke depan.
“Namun, apabila mediasi tidak menghasilkan titik temu, kami tetap akan menuntut dengan pasal-pasal yang telah disiapkan, yaitu Pasal 158 dan Pasal 161 UU Minerba,” tegas Helmi.
Selain itu, pihak penggugat meminta PN Tulungagung melakukan peninjauan lapangan (descente) agar putusan tidak hanya berdasar dokumen, tetapi juga fakta empiris.
Kuasa hukum lainnya, Hendro Blangkon, S.H., M.Kn., menambahkan bahwa gugatan ini melibatkan tiga individu dan satu badan usaha.
“Kalau mencermati perbuatan hukum yang dilakukan K-Cunk Motor, maka masyarakat berkewajiban ikut serta dalam pengawasan dan pelaporan. Landasan konstitusional kami jelas, yaitu Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945,” tegasnya.
Sementara itu, Irawan Sukma, S.H., menekankan bahwa proses mediasi adalah kewajiban sebelum memasuki pokok perkara. Dari empat pihak tergugat, tiga hadir bersama kuasa hukumnya, sedangkan tergugat keempat sudah dua kali dipanggil namun tidak hadir.
Usai persidangan, terjadi insiden tidak mengenakkan. Salah satu wartawan redaksi MHI, Sutrisno, mendapat perlakuan kasar saat melakukan teknik doorstop kepada tergugat Suryono Hadi Pranoto.
Menurut Sutrisno, dirinya dihalangi dan didorong oleh orang dekat tergugat. Ia menilai hal itu sebagai bentuk pelanggaran UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Tugas kami adalah melakukan wawancara agar berita berimbang. Namun saya diperlakukan kasar, bahkan didorong-dorong oleh oknum pengamanan dari K-Cunk Motor,” ujarnya.
Sutrisno menyatakan akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Ia mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Pers mengatur sanksi penjara 2 tahun atau denda Rp500 juta bagi siapa pun yang menghalangi kerja wartawan.
Ketegangan juga sempat terjadi di area pengadilan. Puluhan kendaraan dan massa simpatisan yang dibawa pihak tergugat menimbulkan keramaian. Dalam sebuah video berdurasi 1 menit 56 detik, terdengar teriakan bernada kasar dari simpatisan K-Cunk Motor di area parkir PN Tulungagung, bahkan ada yang mengenakan celana pendek di ruang pengadilan hingga menimbulkan sorotan publik.
Salah satu suara dalam video terdengar menyebut, “Aku wong Nglampir ora ana seng dirugikan, K-Cunk Motor malah buka lapangan kerja.”
Namun, pandangan berbeda muncul dari warga Desa Nglampir lain, akun @Retno Dwi, yang menuliskan di Facebook:
“Aku wong Nglampir yo ra dukung. Lek bukit diurus, nek longsor karo banjir gede emang gelem tanggung jawab?”
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat luas karena menyangkut dugaan praktik tambang ilegal, penyalahgunaan tata kelola lahan, serta ancaman kerusakan lingkungan yang berpotensi berdampak langsung kepada warga.
PN Tulungagung menekankan pentingnya mediasi sebagai upaya damai. Namun, pihak penggugat menegaskan akan tetap memperjuangkan keadilan lingkungan melalui jalur hukum, baik perdata maupun pidana, apabila mediasi tidak mencapai kesepakatan.(Tim;Red)