Semarang – Hotel seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para pengunjung, tetapi beberapa kejadian terkini justru memperlihatkan sisi gelap yang terjadi di balik pintu-pintu tertutupnya. Salah satunya adalah kasus di Hotel Bromo Indah, Jimbaran, Bandungan, yang tengah disorot karena dugaan penyalahgunaan fungsi sebagai tempat tindakan tidak terpuji.(13 November 2024).
Kasus ini bermula pada 11 September 2024, ketika Hotel Bromo Indah diduga menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual yang melibatkan seorang remaja berinisial ADTY terhadap seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sebut saja Mawar. Berita ini menyebar luas di masyarakat, menimbulkan kegemparan dan banyak pertanyaan mengenai peran pihak hotel dalam pengawasan aktivitas yang terjadi di tempat mereka.
Seorang jurnalis berinisial STI, pada Selasa, 12 November 2024, mendatangi Hotel Bromo Indah untuk mengklarifikasi informasi ini dan melakukan investigasi lebih lanjut. Maksud kedatangan STI adalah mencari kebenaran demi keseimbangan informasi. Saat bertemu dengan salah satu karyawan hotel berinisial NJB, STI memperoleh konfirmasi bahwa memang terdapat seorang anak di bawah umur yang masuk bersama remaja yang diduga sebagai ADTY.
Namun, ketika STI berusaha menemui manajemen Hotel Bromo Indah untuk mendapatkan tanggapan resmi, ia diberitahu bahwa perwakilan manajemen tidak bisa ditemui dengan alasan ada acara keluarga. Merasa tugasnya belum selesai, STI meninggalkan hotel dengan bertukar kontak dengan NJB untuk kemungkinan klarifikasi lebih lanjut.
Tak lama setelah meninggalkan lokasi, STI menerima telepon dari seorang wanita yang mengaku sebagai istri pemilik hotel, berinisial LLS. Dalam percakapan telepon tersebut, LLS menyampaikan keberatannya atas kedatangan STI dan pengambilan foto di sekitar lingkungan hotel. Dengan nada marah, LLS berusaha mengintimidasi STI dan mengancam akan melaporkannya ke pihak kepolisian serta memastikan bahwa STI akan dijemput paksa oleh polisi.
Tak berhenti di situ, intimidasi berlanjut ketika suami dari LLS, berinisial RFK, juga menghubungi STI. RFK mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap investigasi yang dilakukan STI dan menyatakan ancaman serupa, bahkan menyebutkan bahwa ia sudah mengetahui data pribadi lengkap dari jurnalis tersebut.
Mendapati anak buahnya mendapatkan intimidasi dalam menjalankan tugas jurnalistik, pimpinan STI, Dony Wahyudi, menyatakan akan menempuh langkah hukum dengan melaporkan tindakan LLS dan RFK ke pihak kepolisian atas dugaan menghalangi tugas jurnalis. Menurut Dony, tindakan intimidasi seperti ini tidak dapat ditoleransi, mengingat jurnalis berhak melakukan tugasnya sesuai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers.
Kasus ini menjadi perhatian bagi masyarakat dan komunitas pers, yang menyerukan perlindungan lebih terhadap hak-hak jurnalis agar mereka dapat bekerja tanpa rasa takut akan intimidasi atau ancaman hukum yang tidak semestinya.(*)