_Oleh: Wilson Lalengke_
Jakarta – Ribuan kasus yang ditangani aparat di kantor polisi, Polsek, Polres, dan Polda tidak jelas ujung-pangkalnya. Penanganan kasus di Mabes Polri lebih parah lagi, hampir tidak ada perkara yang bisa diselesaikan dengan benar sesuai aturan hukum yang ada.
Salah satu penyebabnya adalah karena hampir semua kasus yang masuk ke kantor-kantor polisi itu, dalam penanganannya penuh tipu-tipu, rekayasa, dan putar sana putar sini. Aparat polisi, terutama di unit reskrim dan lantas, selalu melihat laporan masyarakat dengan dua perspektif: berkas-beras dan pelapor-terlapor. Kasusnya dijadikan berkas ke kejaksaan dan pengadilan atau diselesaikan dengan sekian liter beras. Juga, penanganan dikaitkan dengan siapa pelapor, siapa terlapor, dan keinginan masing-masing dari keduanya.
Sisi manapun dari dua perspektif tersebut yang dominan, tujuan proses penanganan kasus yang penuh tipu, rekayasa, dan putar-putar itu hampir pasti adalah UUD, ujung-ujungnya duit. Jikapun ada yang lain, biasanya untuk kepentingan mendapatkan kesempatan emas, jabatan, pangkat, dan dalam banyak kasus mendapatkan layanan seks gratis.
Tidak terhitung sudah, pakar dan praktisi hukum mengungkap soal fenomena unik nan buruk di institusi yang dapat nama baru ‘parcok’ ini. Bukti empiris-nya pun tak terbilang banyaknya, bertebaran di puluhan ribu media online, media sosial, layanan berbagi informasi dan channel audio visual.
Banyak warga yang berurusan dengan hukum berasumsi bahwa untuk mengatasi mandeknya perkara di tingkat Polsek atau Polres, harus didorong agar penanganan kasusnya diambil alih oleh Mapolda atau Mabes Polri. Harapannya, penuntasan perkara akan lebih professional, cepat, dan sesuai harapan.
Contoh kecil, kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana nasabah investasi bodong koperasi Niaga Mandiri Sejahtera Indonesia (NMSI) yang ditangani Polres Kediri yang bertahun-tahun kasusnya tidak selesai. Setelah para korban penipuan berteriak histeris di Gedung DPR RI, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menarik penanganan kasus itu ke Mabes Polri.
Hasilnya? Ternyata penanganan kasus di Mabes Polri lebih parah. Publik bisa memaklumi apabila kasusnya tidak mampu diselesaikan di tingkat polres. Aparat yang menangani di Polres Kediri hanya polisi kroco alias para tamtama dan bintara yang kecerdasan intelektual dan kemampuan kerjanya masih taraf amatiran.
Namun, ketika kasus itu ditangani oleh ‘orang pusat’, tentu saja logika awam akan mengatakan kasusnya ditangani para polisi professional yang memiliki inteletualitas dan ketrampilan penyidikan yang mumpuni dan hebat-hebat. Faktanya? Kasusnya meliuk sana meliuk sini kemudian meliuk ke sono. Diputar-putar kesana-kemari sesuka hati para penyidik, yang tentu saja bertujuan agar kasusnya semakin kabur dan akhirnya hilang.
Untuk menghindari pertanyaan dan desakan dari para korban atau kuasa hukumnya, para penyidik yang dipimpin oleh Brigjenpol Helfi Assegaf di Dittipideksus Bareskrim Polri yang menangani kasus NMSI itu tidak mencantumkan nomor WhatsApp yang bisa dihubungi dalam SP2HP untuk korban. Helfi Assegaf juga berupaya sembunyi dari tanggung jawab atas penanganan kasus tersebut. Dihubungi tidak merespon, didatangi di kantor, sibuk acara di luar. Aparat wercok benar-benar licik!
Dalam kasus yang dilaporkan ke Polda Lampung beda lagi. Korban pengeroyokan, Sopyanto, warga Lampung Timur, melaporkan nasib nahas yang dialaminya ketika menginvestigasi kegiatan penambangan illegal pasir silika di kampungnya, ke Polda Lampung. Harapannya, agar proses penanganan kasus dapat ditangani secara lebih professional dan cepat.
Ternyata, oleh Polda Lampung kasus tersebut dilimpahkan ke Polres Lampung Timur. Yaah, Anda sudah bisa menebak hasilnya. Lebih dua tahun berlalu, kasusnya tiada kabar lagi. Polda saja tidak sanggup, bagaimana mungkin polres diharapkan bisa menyelesaikan kasusnya? Sekali lagi, aparat wercok benar-benar licik.
Ada lagi satu cerita terkait penanganan kasus oleh Dittipidkor Barestkrim Polri. Pada 22 November 2024 lalu saya melaporkan penyidik AKBP H. Yusami, S.I.K., M.I.K., ke Divisi Propam Polri akibat janji-janji kosong. Oknum perwira menengah bergelar haji itu berjanji berkali-kali untuk memberikan informasi terkait penanganan dugaan tindak pidana korupsi/suap dan penggelapan uang rakyat, dana hibah BUMN, yang melibatkan para dedengkot koruptor pengurus pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Ch Bangun, dan kawan-kawan.
Esoknya, pada Sabtu (23 November 2024) Dittipdikor Bareskrim Polri mengirimkan SP2D atau yang lebih dikenal sebagai SP2HP. Saya sempat gembira menerima SP2D itu, tapi kemudian harus mengelus dada.
Mengapa? Ternyata dalam SP2D itu disampaikan bahwa laporannya dilimpahkan ke Biro Wassidik. Padahal, yang dilaporkan bukan soal penanganan kasusnya, tapi perilaku bohong, dusta, dan tidak professional si oknum polisi bernama AKBP H. Yusami yang harus diproses oleh Propam.
Ini bukan satu-satunya kasus lempar sana lempar sini yang dilakukan oleh aparat di lembaga partai coklat itu, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengelabui warga pencari keadilan. Kasus serupa juga dialami korban tindak pidana penipuan dana umroh, Abdul Manan, S.Pd, yang dilaporkan ke Mabes Polri sejak Februari 2018. Hingga korban penipuan oleh Direktur PT. Azizi Tour & Travel, Nazlah Lubis, ini meninggal dunia dunia awal tahun 2024 lalu, penanganan kasusnya tidak selesai sampai kini.
Melihat kinerja dan perilaku buruk hampir semua anggota wercok dimana-mana, publik sangat berharap pimpinan Polri bersikap tegas memberikan sanksi terhadap mereka yang lalai tersebut. Rakyat dapat memahami dan tetap respek kepada institusi Polri walaupun banyak hama parasit di sana, sepanjang pimpinan Polri melakukan pembersihan terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan kewenangannya.
Namun, aneh bin ajaib, polisi-polisi yang menurut publik harus dirumahkan alias dipecat, justru dipromosikan ke jabatan dan pangkat yang lebih mentereng. Para wercok bobrok yang oleh si oknum ketua parcok akan dipotong kepalanya, malahan jadi jenderal semua.
Mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi Susanto, yang dicopot dari jabatan Kapolres karena terlibat kasus rekayasa dan perusakan barang bukti kasus Sambo, sekarang dinaikan pangkatnya menjadi Brigjenpol dengan jabatan baru sebagai Kepala Biro Perawatan Personel (Karowatpers) Polri. Begitu juga kawan-kawannya, Kombes Murbani Budi Pitono, Kombes Denny Setia Nugraha Nasution, Kombes Susanto, AKBP Handik Zusen, dan Kompol Chuck Putranto, mendapatkan promosi jabatan. Edan!
Setelah para polisi yang terlibat dalam tipu-tipu dan rekayasa kasus polisi Sambo bunuh polisi disanksi kurungan ‘penempatan khusus’ dan dimutasi ke unit Yanma, kini mereka justru diberikan tempat terhormat oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Saksi yang diberikan itu hanyalah tipu-tipu belaka. Lengkaplah sudah tipu-tipu wercok terhadap rakyat pembayar PPN 12% ini. Sontoloyo! (*)
Penulis adalah korban kriminalisasi tipu-tipu Polres Lampung Timur