Bab 1: Awal Perjalanan
Kalimantan Selatan – Warsito, Direktur Utama PT Berita Istana Negara, bersama Dedy Afriandi Nusbar, seorang pengacara yang dikenal gigih membela wong cilik, baru saja menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Syamsudin Noor, Banjarmasin. Perjalanan mereka kali ini bukan sekadar perjalanan bisnis, melainkan eksplorasi ke jantung Kalimantan, tanah yang kaya akan sumber daya alam.
Setelah melewati prosedur di bandara, mereka segera menaiki kendaraan yang akan membawa mereka ke Kotabaru. Sopir yang menjemput mereka menjelaskan bahwa perjalanan ke sana akan memakan waktu sekitar tiga jam dengan jarak tempuh 160 kilometer. Mereka harus melewati 64 jembatan yang membentang di sepanjang jalan. Beruntung, mereka menggunakan jalur baru, karena jika melewati jalur lama, perjalanan bisa memakan waktu hingga tujuh jam.
Saat mobil melaju melewati hutan belantara yang tampak tak berujung, Warsito termenung. Di luar jendela, pepohonan besar menjulang tinggi, seakan-akan menjadi penjaga abadi tanah Kalimantan. Pikirannya melayang, membayangkan betapa luasnya tanah ini.
“Seandainya setiap laki-laki di Kalimantan menikahi dua belas wanita pun, hutan ini masih tetap luas dan tak terisi,” gumamnya dalam hati.
Namun, keindahan itu datang dengan tantangan tersendiri. Selama tiga jam perjalanan, tidak ada sinyal atau jaringan. Mereka benar-benar terisolasi dari dunia luar, hanya ditemani deru mesin mobil, semilir angin yang berhembus melalui celah pepohonan, dan nyanyian burung liar.
Saat memasuki kawasan pegunungan, mereka melewati gua dan gunung yang konon merupakan pemakaman Suku Dayak. Tempat itu terasa begitu sunyi dan mistis. Warsito merasakan aura berbeda, seakan-akan ada mata tak terlihat yang mengawasi mereka dari kejauhan.
Bab 2: Kalimantan, Negeri yang Kaya Raya
Setelah beberapa jam melintasi jalanan berliku di tengah hutan, Warsito mulai memahami sesuatu. Ia menoleh ke arah Dedy dan berkata, “Orang Kalimantan ini sebenarnya kaya raya. Mereka tidur di atas hamparan batu bara dan emas. Potensi di sini luar biasa.”
Di sepanjang jalan, perkebunan kelapa sawit dan karet membentang luas, menciptakan lanskap hijau yang menakjubkan. Ribuan sapi tampak bebas berkeliaran di padang rumput, menambah kesan bahwa tanah ini subur dan menjanjikan.
Dedy yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara, “Tapi ironisnya, banyak masyarakat kecil yang masih hidup dalam keterbatasan. Kekayaan alam ini sering kali hanya dinikmati oleh segelintir orang.”
Warsito mengangguk setuju. Sebagai seorang pengusaha media, ia menyadari betapa pentingnya menyuarakan keadilan bagi mereka yang termarjinalkan.
Bab 3: Penyebrangan Menuju Batulicin
Setibanya di Kotabaru, Warsito dan Dedy disambut dengan hangat oleh Mas Wandi dan istrinya, Mbak Erna. Mereka juga bertemu dengan tokoh masyarakat.
Selama seminggu, mereka berkeliling Kotabaru, menikmati keindahan Siring Laut, yang memancarkan cahaya gemerlap di malam hari. Diiringi suara ombak yang tenang, mereka berbincang mengenai potensi daerah ini.
Selain itu, mereka juga diajak mengunjungi Kampung Laut, kawasan pesisir dengan rumah-rumah panggung yang unik. Pemandangan hutan bakau dan laut biru membuat Warsito semakin kagum akan kekayaan alam Kalimantan.
Di tengah perjalanan, Warsito bertemu dengan seorang gadis bernama Zahra, seorang wanita asli Kotabaru yang bekerja sebagai pedagang di pasar. Zahra dengan antusias menceritakan kehidupan masyarakat setempat, dari adat istiadat hingga tantangan yang mereka hadapi.
Bab 4: Kembali ke Banjarmasin
Setelah seminggu penuh pengalaman berharga, Warsito dan Dedy bersiap kembali ke Banjarmasin untuk penerbangan pulang ke Semarang dan Solo. Mereka menginap semalam di Hotel Novotel, yang berlokasi tepat di depan Bandara Syamsudin Noor.
Malam itu, sambil menikmati secangkir teh panas dan sepiring nasi goreng iga, Warsito dan Dedy berbincang santai.
“Betapa luar biasanya tanah Kalimantan ini. Kaya akan sumber daya, indah, tapi masih banyak potensi yang belum tergarap,” kata Warsito.
Dedy mengangguk. “Kita harus kembali ke sini, Bro. Masih banyak cerita yang belum kita gali.”
Sebelum meninggalkan tanah Borneo, Warsito masih harus menempuh perjalanan menuju Pelabuhan Tanjung Serda untuk menyeberang ke Batulicin. Perjalanan menggunakan kapal ferry memakan waktu sekitar 30 menit.
Saat Warsito duduk menunggu kapal bersandar, seorang gadis muda duduk di sebelahnya.
“Dari mana, Bang?” tanya gadis itu sambil tersenyum.
“Dari Jakarta, Mbak. Mau ke Kotabaru,” jawab Warsito.
Obrolan mereka mengalir begitu hangat. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Eda, seorang perempuan asli Kalimantan Selatan. Ia bercerita tentang masyarakat Kalimantan yang masih memegang erat budaya leluhur, tentang bagaimana perempuan di daerahnya dikenal kuat dan mandiri.
“Sebenarnya, kalau mau sukses di sini, kuncinya satu: kenali orang-orangnya dulu. Orang Kalimantan sangat menghargai pertemanan dan kepercayaan,” kata Eda.
Warsito mengangguk, merenungkan kata-kata Eda. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan bisnis, tetapi juga kesempatan untuk memahami lebih dalam tentang Kalimantan dan segala potensinya.
Saat kapal mulai bersandar, Warsito menatap jauh ke arah pulau yang semakin dekat. Petualangan ini baru saja dimulai.
Mereka pun terdiam sejenak, menikmati malam terakhir mereka di tanah Borneo, sebelum kembali ke rutinitas mereka di Pulau Jawa.(iTO)