PT. BERITA ISTANA NEGARA

Perusahaan Itu Tidak Paham Soal Uka-Uka alias Uji Kompetensi Wartawan Hanya Akal-akalan Saja

Berita Istana - Sabtu, 14 Desember 2024 03:50

JATENGWarsito Direktur utama PT Berita Istana Negara menegaskan, dalam dunia jurnalisme, istilah “uka-uka” sering kali muncul dalam pembicaraan sebagai simbol ketidakprofesionalan dalam praktik pers. Namun, apakah benar semua pihak, termasuk aparat hukum dan pengusaha, benar-benar memahami apa itu “uka-uka”? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa ketidakpahaman terhadap uka-uka menjadi akar dari berbagai persoalan.

Ketidakpahaman yang Berlipat
Sering kali, seseorang yang tidak memahami permasalahan mencoba mengendalikan situasi, hanya untuk menjerumuskan orang lain ke dalam ketidakpahaman yang sama. Ketika aparat hukum, pengusaha, atau pihak lainnya yang dianggap memahami hukum ternyata tidak paham akan konsep uka-uka, mereka justru berkontribusi pada penyebaran kebodohan kolektif.

Mengapa ini dikatakan bodoh? Karena mereka yang tidak paham ikut mengarahkan orang lain, sehingga semua pihak terjebak dalam situasi tanpa pemahaman yang benar. Sebagai contoh, jika Anda berurusan dengan uka-uka tetapi tidak memahami seluk-beluknya, maka Anda hanya menjadi alat dalam rantai yang tidak produktif.

Mengacu pada UU Pers
Untuk memahami lebih dalam soal uka-uka, Anda disarankan untuk merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan hanya 21 pasal, UU ini cukup singkat dan mudah dianalisis. Sayangnya, banyak pihak malas membaca bahkan dokumen hukum dasar ini, sehingga gagal mempraktikkan jurnalisme yang profesional.

Perbandingan Profesional dan Pemilik Uka-Uka
Pemegang uka-uka biasanya hanya mendapatkan keuntungan kecil, mulai dari Rp50 ribu hingga Rp200 ribu, dari kerjasama dengan berbagai pihak seperti pengusaha, pejabat, atau aparat hukum. Bandingkan dengan jurnalis profesional seperti  Karni Ilyas, Najwa Shihab, atau Rosiana Silalahi, yang memiliki portofolio dan rekam jejak jelas di dunia jurnalisme. Para profesional ini tidak hanya memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar, tetapi juga dihormati atas kualitas kerja dan integritas mereka.

Baca Juga :  Kapolres Jepara: Kedekatan dengan Masyarakat Kunci Kondusifitas Kamtibmas

Mengapa perbedaannya begitu besar? Pemegang uka-uka hanya bergantung pada “kertas uka-uka,” tanpa kompetensi atau rekam jejak yang jelas. Sementara itu, para profesional memiliki karya nyata, portofolio yang kuat, dan kredibilitas yang diakui oleh masyarakat luas.

Kesimpulan : Ketidakpahaman terhadap uka-uka tidak hanya merugikan individu tetapi juga melemahkan kredibilitas jurnalisme itu sendiri. Oleh karena itu, penting untuk terus belajar dan memahami UU Pers, serta mengedepankan profesionalisme di dunia pers. Jika Anda masih bertanya-tanya soal uka-uka, saatnya berhenti sejenak dan mulai memahami inti permasalahannya.

Jangan hanya menjadi pemegang uka-uka yang bekerja tanpa arah, tetapi jadilah profesional yang berkontribusi nyata bagi dunia jurnalisme.(iTO)

Array

Berita Terkait

Komentar