Pasuruan – Kebijakan Dinas Pariwisata Kabupaten Pasuruan yang memberikan izin operasional kepada kafe atau warung karaoke Gempol-9 menuai kontroversi setelah munculnya kasus penganiayaan yang viral di media sosial. Peristiwa ini melibatkan lima korban penganiayaan, dengan salah satu korban secara resmi melaporkan oknum TNI berinisial ND dan BG ke Polres Pasuruan melalui kuasa hukum Alim, dengan didampingi tim hukum dari Jainurifan, SH.
Kasus yang mengakibatkan lima orang terluka parah ini mendapatkan sorotan luas di berbagai media, termasuk di Berita Istana. Kasus ini kini dalam proses hukum, dan pelapor juga berencana melanjutkan laporannya ke DENPOM untuk memastikan langkah hukum lebih lanjut.
Pihak Dinas Perizinan, melalui Kepala Bidang, menyatakan bahwa Gempol-9 beroperasi secara sah berdasarkan peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2021. “Gempol-9 memiliki izin resmi sesuai peraturan,” jelasnya.
Namun, keputusan tersebut memicu reaksi keras dari masyarakat Gempol yang mempertanyakan legalitas tempat hiburan di wilayah yang dikenal sebagai “kota santri.” Keberadaan kafe karaoke, penjualan minuman keras, serta dugaan adanya prostitusi terselubung dinilai bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan setempat. “Jika memang sudah legal, seharusnya izin miras dan aktivitas lain juga terdata resmi,” kritik salah satu tokoh masyarakat.
Pejabat dari Dinas Pariwisata menegaskan bahwa legalitas Gempol-9 sudah sesuai aturan, dan kategori risiko untuk karaoke relatif rendah. “Soal miras adalah kewenangan Satpol PP, di luar ranah kami,” katanya.
Menurut Muarif, anggota Satpol PP, penindakan terkait pelanggaran di Gempol-9 adalah tugas Dinas Pariwisata. “Penanganan masalah ini memang menjadi wewenang Dinas Pariwisata,” ungkapnya kepada Berita Istana.
Kepala Perwakilan Berita Istana Jawa Timur, Eko Prayitno, mengajukan permintaan konfirmasi kepada Agus Hari Wibawa, Kepala Dinas Pariwisata Pasuruan, terkait izin OSS (Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik) di Ruko Gempol-9.
Berdasarkan peraturan OSS RBA (Risk-Based Approach), izin usaha kategori UMKM biasanya diberikan untuk usaha sederhana seperti warung kopi dan makan. Namun, untuk usaha hiburan seperti karaoke, miras, serta penyedia LC (Lady Companion), perlu dokumen tambahan dari pemerintah daerah untuk memenuhi persyaratan hukum lebih ketat. Jika izin usaha yang ada tidak sesuai komitmen perizinan, maka izin tersebut dapat dinilai cacat hukum.
Eko Prayitno menegaskan, “Kami berharap Kepala Dinas Pariwisata dapat menjelaskan status perizinan dan langkah-langkah yang akan diambil untuk memastikan bahwa komitmen perizinan ditegakkan sesuai aturan.”
Selain itu, Eko juga mempertanyakan apakah perizinan sektor pariwisata, termasuk Gempol-9, sudah mengikuti pembaruan sistem OSS RBA sejak 2 Agustus 2021, yang ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan pengawasan sektor hiburan yang berisiko.
Masyarakat berharap klarifikasi dan tindakan dari Kepala Dinas Pariwisata, khususnya terkait langkah penegakan perizinan. Menurut Eko, Satpol PP berwenang sebagai penegak hukum daerah, sementara Dinas Pariwisata bertanggung jawab dalam pembinaan usaha pariwisata dan hiburan.
Kasus ini terus menyedot perhatian masyarakat luas, yang berharap penegakan hukum yang adil dan prosedural demi menjaga ketertiban serta kenyamanan masyarakat sekitar. (TIM: Red)