Kotabaru, Kalimantan Selatan – Direktur Utama PT Berita Istana Negara, Warsito, menyoroti ketidaklayakan nilai ganti rugi tanah dalam proyek pengembangan Bandara Gusti Syamsir Alam. Salah satu warga terdampak, H. Zulfadli, warga RT 08, Desa Stagen, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses ganti rugi yang dinilai tidak adil.
“Warga setempat sebenarnya setuju jika tanah mereka digunakan untuk pelebaran bandara, namun ganti ruginya jangan asal-asalan,” ujar Menur Daeng, warga yang juga terdampak. “Ganti rugi yang diberikan lebih mahal rokok daripada tanah satu bidang. Kami mendukung program pemerintah, tapi jangan sampai rakyat kecil dibodohi oleh panitia.”
Menurut warga, harga yang ditetapkan untuk tanah mereka sangat jauh dari kata wajar. Tanah seluas per kavling hanya dihargai Rp14 juta, sementara usaha tambak ikan, kepiting, dan udang milik warga tidak dihargai sama sekali. Warga menduga ada permainan dalam proses ini, terutama terkait dengan penunjukan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) WYP sebagai pemenang lelang.
“Pemenang paket pekerjaan dengan HPS sebesar Rp799.976.000 adalah KJPP Wahyu Yasir Purnamasari dan Rekan cabang Banjarmasin, yang beralamat di Jalan Komplek Meranti VIII No.1, RT 35 RW 03, Alalak Utara, Banjarmasin. Penilaian mereka jauh dari kata layak,” tegas Warsito.
Warsito menegaskan bahwa pihaknya akan mengusut tuntas dugaan permainan dalam proyek ini. Ia mencurigai adanya manipulasi data, termasuk bertambahnya NIS dan pengurangan ukuran tanah milik warga.
“Jika panitia tidak profesional dan tidak transparan, maka kami akan menurunkan tim dari pusat untuk mengusut oknum yang terlibat,” tegasnya. “Rakyat adalah panglima tertinggi, jadi jangan main-main. Warga siap menyerahkan tanahnya untuk kepentingan pembangunan, tapi ganti rugi harus adil dan berpihak kepada rakyat, bukan menjadi ajang mencari keuntungan bagi segelintir orang.”
Kasus ini berpotensi melibatkan beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, antara lain:
1. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum
Mengatur kewajiban pemerintah dalam memberikan ganti rugi yang layak kepada warga terdampak pengadaan tanah.
2. Pasal 55 ayat (1) KUHP
Bisa digunakan jika terbukti ada persekongkolan atau kongkalikong antara panitia pengadaan tanah dan KJPP dalam penentuan harga ganti rugi yang merugikan warga.
3. Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan
Jika terdapat indikasi bahwa sebagian dana ganti rugi dialihkan secara tidak sah oleh pihak tertentu.
4. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dapat diterapkan jika ada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan wewenang dalam penentuan harga tanah.
5. Pasal 1365 KUH Perdata
Jika warga ingin mengajukan gugatan perdata atas kerugian yang mereka alami akibat proses ganti rugi yang tidak layak.
Keluhan serupa juga disampaikan Agus, yang menilai bahwa proses musyawarah penetapan ganti rugi tidak transparan. Agus bahkan mengaku bahwa warga mendapatkan intervensi untuk melakukan gugatan ke pengadilan. Namun, saat mendatangi pengadilan pada 12 Februari 2025, gugatan mereka ditolak dengan alasan bahwa pengadilan belum memiliki kewenangan dalam perkara ini. Agus juga menuding bahwa panitia tidak bertanggung jawab dan hanya saling melempar masalah.
Setidaknya 29 warga terdampak hadir dalam pertemuan ini. Acara ini digelar pada Selasa (18/2) di rumah Wandi, yang beralamat di Jl. Bandara GT. Syamsir Alam RT.02 No.33, Desa Stagen, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, dengan harapan mendapatkan solusi hukum yang adil dan sesuai dengan hak mereka. Kuasa hukum yang diundang memberikan pemaparan terkait langkah-langkah yang bisa diambil oleh warga dalam menghadapi permasalahan ini, termasuk kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh guna memperjuangkan hak mereka.
Dengan adanya dugaan kongkalikong ini, warga berharap pemerintah daerah dan pihak terkait dapat segera turun tangan untuk memastikan bahwa proses ganti rugi dilakukan secara adil dan transparan.(iTO)