Pasuruan – Direktur Utama PT Berita Istana Negara, Warsito, memberikan pernyataan terkait penangkapan dua oknum wartawan yang terjadi pada 5 Desember 2024, sekitar pukul 01:30 dini hari di lampu merah Taman Dayu, Pasuruan. Menurut saksi berinisial BB, yang ditemui oleh Warsito, penangkapan tersebut penuh kejanggalan dan dinilai cacat hukum.(Kamis 12/12/2024).
BB menjelaskan bahwa dirinya disuruh bosnya membeli sayur ke pasar saat penggerebekan terjadi. “Di tengah jalan, saya digerebek oleh sekitar 12 anggota Polres Pasuruan. Mereka kemudian mengajak saya pulang ke rumah bos saya untuk menangkap KIS, yang saat itu sedang berada di rumah bos,” ujar BB.
Penangkapan Tanpa Prosedur Resmi
Warsito menilai proses penangkapan tersebut tidak sesuai prosedur hukum. “Saat penangkapan, tidak ada surat penangkapan atau pemberitahuan pertama, kedua, dan ketiga yang diberikan, padahal jarak antara Polres Pasuruan dan lokasi kantor dan pelaku KIS hanya sekitar tiga kilometer,” jelas Warsito.
Ia juga menyoroti kejanggalan dalam surat pernyataan yang dikeluarkan. “Nama pelaku yang tertulis bukan Ayik, dan nama korban bukan Ida, seperti yang tertera dalam surat. Harusnya, nama sesuai dengan KTP dan fakta kejadian,” tambahnya.
Kejahatan Ganda: Pemerasan dan Praktik Kesehatan Ilegal
Warsito mengungkapkan bahwa kasus ini tidak hanya terkait dugaan pemerasan oleh dua oknum wartawan, tetapi juga menyangkut pelanggaran hukum di sektor kesehatan. “Pelaku suntik pemutih ilegal yang meminta penghapusan foto dan video juga harus diproses sesuai hukum, karena melanggar undang-undang kesehatan dan regulasi BPOM,” tegasnya.
Ia menilai kasus ini melibatkan pihak ketiga yang mempengaruhi Fadilah, pelaku suntik pemutih. Warsito menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat harus diproses hukum agar citra Polres Pasuruan tidak tercoreng.
Komitmen pada Etika Jurnalistik
Sebagai Direktur Utama PT Berita Istana Negara, Warsito juga mengecam tindakan dua oknum wartawan yang terlibat dalam kasus tersebut. “Wartawan tidak boleh menerima imbalan apapun. Tindakan seperti ini melanggar kode etik jurnalistik dan mencoreng nama baik profesi,” tegasnya.
Polres Pasuruan kini menjadi sorotan publik setelah kasus yang melibatkan dua wartawan dan dua orang lainnya yang masih dalam pengejaran mencuat. Berbagai media massa telah menyoroti perkembangan kasus ini, menyerukan agar penegakan hukum dilakukan dengan adil tanpa pandang bulu. Jika langkah restorative justice (RJ) diterapkan, citra Polres Pasuruan dinilai akan tercoreng.
Kasus ini bermula dari dugaan pelanggaran yang melibatkan empat pelaku, termasuk dua wartawan, dalam aktivitas yang kini tengah diselidiki. Di tengah upaya penegakan hukum, desakan dari masyarakat dan media untuk memproses kasus ini secara tuntas semakin menguat. Bahkan, kasus serupa seperti pelaku suntik pemutih telah diproses secara adil, menjadi tolok ukur bagi penegakan hukum di wilayah tersebut.
“Jika restorative justice dilakukan, akan timbul persepsi bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini tentu akan berdampak buruk terhadap kepercayaan masyarakat pada institusi kepolisian,” ujar Warsito.
Warsito berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk menegakkan hukum secara adil. “Kami meminta agar pelaku suntik pemutih ilegal dan dua wartawan tersebut diproses hukum sesuai dengan pelanggaran masing-masing. Jangan sampai hukum dipermainkan, dan citra Polres Pasuruan tetap terjaga baik,” pungkas Warsito.
Kasus ini menjadi perhatian publik dan diharapkan dapat diselesaikan dengan adil, tanpa ada pihak yang dirugikan.(iTO)